I.
PENDAHULUAN
Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungan sekitarnya berdasarkan ide
nasionalnya yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi
bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bermartabat serta menjiwai tata hidup
dalam mencapai tujuan perjuangan nasional. Wawasan Nusantara merupakan pandangan bangsa Indonesia dalam
mengartikan tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh
wilayah dan segenap kekuatan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional
meliputi kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan
Bagi sebuah negara besar seperti Indonesia, kekayaan budaya dan alam
merupakan potensi sekaligus tantangan yang harus diselaraskan dengan benar.
Jika tidak, bisa-bisa kebesaran negara Indonesia akan berangsur surut dengan
sendirinya dikarenakan gerakan separatis. Sebagai contoh adalah negara Uni
Soviet yang dulu pernah disebut Super Power, hari ini negara itu sudah menjadi
banyak negara-negara kecil. Kenyataan ini bisa dijadikan obyek belajar bagi
negara Indonesia untuk menyiapkan ramuan yang jitu dalam menyiasati kebesaran
negaranya yang terdiri dari banyak pulau, suku, bahasa, agama, dan kekayaan
alam.
Menyadari hal itu negara merasa sangat perlu untuk mewujudkan persamaan
cara pandang terhadap seluruh komponen negaranya, supaya tidak terjadi visi
ganda dari masing-masing komponen bangsa. Setiap anggota masyarakat negara
Indonesia diharapkan memiliki cara pandang yang sama, yang diharapkan mampu
menumbuhkan rasa cinta, memiliki, dan akhirnya kesatuan untuk menjaga dan
mempertahankan negara Indonesia ini sebagai sebuah kesatuan yang meliputi bumi,
langit, udara, dan segala kekayaannya.
Hal inilah yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara. Perjalanan
penanaman wawasan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun pada
tataran ide sulit untuk dimengerti jika masih ada beberapa pihak yang menolak
gagasan itu. Tetapi secara praktis tidak berarti semua pihak bisa benar-benar mempunyai
pemaknaan yang sama terhadap makna wawasan nusantara.
Berdasarkan
latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang
bertajuk “Wawasan Nusantara”.
Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonesia ,
Wawasan Nusantara harus dijadikan arahan , pedoman , acuan , dan tuntutan bagi
setiap individu bangsa Indonesia dalam membangun dan memelihara tuntutan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Karena itu , implementasi atau
penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir , pola sikap , dan
pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara Kesatuan
Republik Indonesia dari pada kepentingan pribadi atau kelompok sendiri . Dengan
kata lain , Wawasan Nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir ,
bersikap , dan bertindak dalam rangka menghadapi , menyikapi , atau menangani
berbagai permasalahan menyangkut kehidupan bermasyarakat , berbangsa , dan
bernegara . Implementasi Wawasan Nusantara senantiasa berorientasi pada
kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai
berikut :
1. Implementasi
Wawasan Nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim
penyelenggaraan Negara yang sehat dan dinamis . Hal tersebut nampak dalam wujud
pemerintahan yang kuat , aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai
penjelmaan rakyat.
2. Implementasi
Wawasan Nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakantatanan ekonomi yang
benar - benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara adil dan merata .
3. Implementasi
Wawasan Nusantara dalam kehidupan social budaya akan menciptakansikap batiniah
dan lahiriah yang mengakui , menerima ,dan menghormati segala bentuk perbedaan
atau kebhinnekaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia pencipta .
4. Implementasi
Wawasan Nusantara dalam kehidupan Hankam akan menumbuhkankesadaran cinta tanah
air dan bangsa yang lebih lanjutkan membentuk sikap bela negara pada setiap
warga Negara Indonesia .
II.
ISI
1. Wawasan
Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Konsep wawasan nusantara
berpangkal pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang
kemudian melahirkan hakekat misi manusia Indonesia yang terjabarkan pada
sila-sila berikutnya. Wawasan Nusantara sebagai aktualisasi falsafah Pancasila
menjadi landasan dan pedoman bagi pengelolaan kelangsungan hidup bangsa
Indonesia.
Dengan demikian Wawasan Nusantara menjadi pedoman bagi
upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan,
persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan
perdamaian dunia. Di samping itu Wawasan Nusantara merupakan konsep dasar bagi
kebijakan dan strategi Pembangunan Nasional.
2. Wawasan
Nusantara dalam Pembangunan Nasional
a. Perwujudan
kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
1) Kebulatan wilayah dengan
segala isinya merupakan modal dan milik
bersama bangsa Indonesia.
2) Keanekaragaman
suku, budaya, dan bahasa daerah serta agama yang dianutnya tetap dalam kesatuan
bangsa Indonesia.
3) Secara
psikologis, bangsa Indonesia merasa satu persaudaraan, senasib dan
seperjuangan, sebangsa dan setanah air untuk mencapai satu cita-cita bangsa
yang sama.
4) Pancasila
merupakan falsafah dan ideology pemersatu bangsa Indonesia yang membimbing ke
arah tujuan dan cita-cita yang sama.
5) Kehidupan
politik di seluruh wilayah Nusantara system hukum nasional.
6) Seluruh
kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan system hukum nasional.
7) Bangsa
Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan
perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas dan aktif.
b. Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
1) Kekayaan
di wilayah Nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik
bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara
merata.
2) Tingkat
perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah tanpa
mengabaikan ciri khas yang memiliki daerah masing-masing.
3) Kehidupan
perekonomian di seluruh wilayah Nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama
dengan asas kekeluargaan dalam system ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
c. Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya
1) Masyarakat
Indonesia adalah satu bangsa yang harus memiliki kehidupan serasi dengan
tingkat kemajuan yang merata dan seimbang sesuai dengan kemajuan bangsa.
2) Budaya
Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang
menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak
nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa
sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
d. Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan
1. Bahwa ancaman terhadap
satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah ancaman terhadap seluruh
bangsa dan Negara.
2. Tiap-tiap
warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam
pertahanan dan keamanan Negara dalam rangka pembelaan Negara dan bangsa.
3. Penerapan
Wawasan Nusantara
a. Salah
satu manfaat paling nyata dari penerapan Wawasan Nusantara, khususnya di bidang
wilayah, adalah diterimanya konsepsi Nusantara di forum internasional, sehingga
terjaminlah integritas wilayah territorial Indonesia. Laut Nusantara yang
semula dianggap “laut bebas” menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia. Di
samping itu, pengakuan terhadap landas komitmen Indonesia dan ZEE Indonesia
menghasilkan pertambahan luas wilayah yang cukup besar.
b. Pertambahan
luas wilayah sebagai ruang hidup tersebut menghasilkan sumber daya alam yang
cukup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Sumber daya alam itu meliputi
minyak, gas bumi dan mineral lainnya yang banyak berada di dasar laut, baik di
lepas pantai (off shore) maupun di laut dalam.
c. Pertambahan
luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional termasuk
Negara-negara tetangga: Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India,
Australia dan Papua Nugini yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai
karena Negara Indonesia memberikan akomodasi kepada kepentingan Negara tetangga
antara lain di bidang perikanan yang mengakui hak nelayan tradisional
(traditional fishing right) dan hak lintas dari Malaysia barat ke Malaysia
timur atau sebaliknya.
d. Penerapan
Wawasan Nusantara dalam pembangunan Negara di berbagai bidang tampak pada
berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi.
Contohnya adalah pembangunan satelit palapa dan microwave system, pembangunan
lapangan terbang perintis dan pelayaran perintis di berbagai daerah. Dengan
adanya proyek tersebut maka laut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan bagi integrasi
nasional. Dengan demikian lalu lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat
berjalan lebih lancar.
e. Penerapan
di bidang social budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib
sepenanggungan dengan asas Pancasila. Salah satu langkah penting yang harus
dikembangkan terus adalah pemerataan pendidikan dari tingkat pendidikan dasar
sampai ke perguruan tinggi ke semua daerah atau provinsi.
f. Penerapan
Wawasan Nusantara di bidang Pertahanan Keamanan terlihat pada kesiapsiagaandan
kewaspadaan seluruh rakyat melalui Sistem Pertahanan keamanan Rakyat Semesta
untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan Negara.
4. Hubungan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar tetap
mengarah pada pencapaian tujuan nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman
yang kokoh berupa konsepsi wawasan nasional. Wawasan nasional Indonesia
menumbuhkan dorongan dan rangsangan untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta
kepentingan dan tujuan nasional. Upaya pencapaian tujuan nasional dilakukan
dengan pembangunan nasional yang juga harus berpedoman pada wawasan nasional.
Dalam proses pembangunan nasional untuk mencapai
tujuan nasional selalu akan menghadapi berbagai kendala dan ancaman. Untuk
mengatasi perlu dibangun suatu kondisi kehidupan nasional yang disebut
ketahanan nasional. Keberhasilan pembangunan nasional akan meningkatkan kondisi
dinamik kehidupan nasional dalam wujud ketahanan nasional yang tangguh akan
mendorong pembangunan nasional semakin baik.
Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah Wawasan
Nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan
nasional. Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan
agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses.
Oleh karena itu diperlukan suatu konsepsi ketahanan Nasional yang sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Wawasan
Nusantara dan ketahanan nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling
mendukung sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya.
5. Kaitan
Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah
yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga
keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan,
tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri
dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan
konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai
persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang
sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun,
Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
Adapun latar belakang yang memunculkan masalah
tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6
dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah
timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell,
pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling
mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah
yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama
menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan
memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik
( Ken/ Wan, Dispenal mediacenter@tnial.mil.id).
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut
menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim tersebut dilakukan
Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak
oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara
lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah
perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak
Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah
memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini
sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain.
"Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty
( Yophiandi Kurniawan, www.
tempo interaktif.com).
Malaysia semula
mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas
pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya
sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah
"dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal
penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik,
Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang
lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan
Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana
Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang
berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia.
Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari
garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan
Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982)
(Ken/ Wan,Dispenal mediacenter@tnial.mil.id).
Kontan
saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan
masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga
sikap keras untuk melakukan perang terbuka ( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com).
Tindakan pemerintah Malaysia yang mengklaim blok
perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial negaranya telah memicu sikap dan
tindakan "reaksi" dari berbagai komponen masyarakat Indonesia.
Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap mengikrarkan diri sebagai korps
sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat termanifestasi
menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia
tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit
hati atas berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan
dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari
kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan
seolah menempatkan para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian"
yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui
keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi
sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah
menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski
dalam strategi politik media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja
''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik
tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri
Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam
pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan
masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan
politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam
berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap
kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk
sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan sudut pandang
politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan
oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara
dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim teritorial seperti
Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap
kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan oleh berbagai komponen gerakan
mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga
diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik
neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang
terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya
merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang
terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi
sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara
perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak
dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL
(Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah
Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,
yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat
politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan
"pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk
memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat.
Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan
kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik
intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik
melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan
kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak
akhir kekuasaan Orde Baru ( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id).
Sikap
masyarakat Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan
dan Ligitan masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia
tidak pernah berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan
negara tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya
peta wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya
memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia,
China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei
Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang wilayahnya
diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras. Ironisnya, hingga saat ini pihak
Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara penuh. Padahal, klaim suatu
wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan internasional
sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara pantai
berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan negara lain, maka
negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai persetujuan. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah Internasional 18 Desember 1951
dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan Anglo norwegian fisheries case
antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan, bahwa delimitasi batas
wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu negara pantai
saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan keabsahannya
delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam menuntaskan
permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer, Pemerintah
Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar tidak
kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan
kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan
sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat
melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan
selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum
Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya
kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara
maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan,
sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan
prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni
anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia.
Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel
komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di
Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang
berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk
negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat,
negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer,
seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia,
Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada
akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957
mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal
dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial
Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya
termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia,
seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan
melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian
diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi
negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV
UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki
arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia
memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan
ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah
yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan
Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya
konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh
kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line)
pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan
dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara
kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya
sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah
perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982
terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari
satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan
kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan
(inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang
demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis,
dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47).
Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada
konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan
alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar
dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal.
Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara
kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas
pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan
Sulawesi.( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
6. Hikmah
dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya
dengan Implementasi Wawasan Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan
kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian
Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia,
terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat
internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal
46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States)
Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam
perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut
sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi
tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena berarti
Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau
pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH
1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia
yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus
dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan
mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia
dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan
teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan
menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual"
maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik
Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi
Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508
pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat
pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil
dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme
Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan
kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan
wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak
di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13
Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan
mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang
di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi
pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya
hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari
negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika
Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak
mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung
pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik
Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya
sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih
berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang mengakibatkan kita
bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati
Hartono, kita tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan
strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu
bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan
sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan
sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Dengan
orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif
darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward
looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah
perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk
mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut
Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai
alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus
Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN,
karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura,
Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia
takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa
dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam
penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan
buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor.
Kita menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi
di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian
dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan
dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai.
Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep
wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut
kita menjadi 6 juta kilometer persegi ( Didi Turmudzi, http://www.pikiran-rakyat.com).
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah
di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut
internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang
mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan
Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah
Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB
untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi
yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari
yang kita cintai.
( Tridoyo Kusumanstanto,
http://www.kompas.com)
Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan
penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai
menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka
masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat
mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan
yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh
dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara
Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya
dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali
kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu
memiliki kesadaran untuk:
Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban
warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai
bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan
Wawasan Nuasantara
Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam
menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara,
sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai
cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap
wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan
dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus
Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang
berlandaskan kebhinekaan.
III.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan Secara umum
Wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam
pengertiannya yaitu cara pandang yang secara utuh menyeluruh dalam lingkup
nusantara dan demi kepentingan nasional. Tujuan dari wawasan nusantara tersebut
yaitu mewujudkan nasioanalisme yang tinggi disegala aspek kehidupan rakyat
Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasioanal dari pada kepentingan
individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah (kepentingan individu,
kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah tetap dihargai selama tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat banyak.
Implementasi Wawasan Nusantara memang sangat
penting untuk bangsa ini. Mengingat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar
dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri
untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai
ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia.
Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah
slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar setiap warga Negara Indonesia sadar bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan program yang teratur,
terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi
wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam
kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi Sumardiman, dkk. 1982. Wawasan
Nusantara, Jakarta: Yayasan Harapan Nusantara. Chaidir Basrie, 2002. Pemantapan
Wawasan Nusantara Menuju Ketahanan Nasional. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdiknas. 14
Buku
pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi penerbit “paradigma”
Yogyakarta.
Lemhanas.
1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Penerbit Ismujati. John Piaris. 1988. Strategi
Kelautan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Pustaka
Sinar Harapan.
M.
Budiyarto Tahun 1980”Wawasan Nusantara dalam peraturan
Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia” Penerbit Ghalia Indonesia.
Munanjat
Danusaputro, S.t. 1983. Wawasan Dalam Hukum Laut PBB. Bandung: Penerbit
Alumni.
Sobana,
An. 2002. Wawasan Nusantara. Jakarta: Dikti Depdiknas.
Suwarsono,
1981. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Penerbit Hakcipta, tanpa
kota Penerbit. UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia UU No. 5 Tahun
1983. Tentang Zone Ekonomi.
(
Didi Turmudzi, http://www.pikiran-rakyat.com)
(
Tridoyo Kusumanstanto,
http://www.kompas.com)
(
Yophiandi Kurniawan, www. tempo interaktif.com)
(
Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)
(Ken/
Wan,Dispenal mediacenter@tnial.mil.id)